BERITA JAKARTA – Pakar hukum pidana, Dr. Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti menilai secara sosiologis penerapan sanksi kepada pelaku KDRT tidak memenuhi rasa keadilan dan azas manfaat pemenjaraan.
Sebab, kata Fickar, dengan menerapkan tuntutan pidana selama 2 bulan penjara, terdakwa GOR, tidak mungkin akan menimbulkan efek jera sebagai pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Saya kira dua hal itu yang menjadi perhatian. Karena dirasa kurang adil dan penghukumanya tidak menimbukkan efek jera, terlepas dari apakah kena suap atau tidak,” tutupnya, Sabtu (17/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, memberikan “kado istimewa” untuk terdakwa KDRT berinisial GOR dengan tuntutan selama 2 bulan penjara.
Meski, Jaksa Penuntut Umum (JPU) meyakini terdakwa GOR terbukti bersalah melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang Undang (UU) RI Nomor: 23 Tahun 2004, tentang penghapusan KDRT.
Padahal, jika melihat kondisi AG wanita korban KDRT menderita luka fisik disekujur tubuhnya yang kerap kali terulang dan bahkan membuat korban tidak dapat bekerja.
Untuk diketahui, pelaku GOR merupakan salah satu pejabat di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Antara terdakwa GOR dan koban AG dalam pasangan suami istri.
“Tubuh saya dipukul dan ditendang, bahkan rambut saya dijambak lalu dipotong. Itu dilakukan di depan anak-anak saya dan Asisten Rumah Tangga,” ungkapnya.
“Dan saya dapat KDRT saat masih menjadi isteri sahnya GOR. Karena enggak kuat lagi, saya ajukan perceraian,” tambah AG mengakhiri. (Sofyan)