BERITA BEKASI – Tita, seorang korban mafia tanah tengah menghadapi kasus pelik yang menimpa tanah warisannya. Ia mengaku memiliki tanah yang ternyata sudah tergadai tanpa sepengetahuannya.
“Ada surat gadai, tapi hanya fotokopi, digadai pada 27 Februari 2016 yang menggadaikan adalah Mama Kepala Waris,” ujar Tita, Rabu (22/5/2024).
Menurutnya, penggadaian tersebut tidak sah tanpa persetujuan kaum sebagaimana diatur dalam adat Minangkabau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tita menegaskan bahwa tanah warisannya berupa 14 piring sawah dengan sertifikat asli. Berdasarkan adat Minangkabau, syarat gadai tentu tidak terpenuhi.
“Sawah kami 14 piring dan memiliki sertifikat asli, syarat gadai tentu saja tidak terpenuhi sesuai adat Minangkabau,” jelasnya.
Upaya hukum yang dilakukan Tita telah mencapai berbagai tingkatan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri Solok hingga Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, namun ia dinyatakan kalah.
“Kalau sesuai adat kita harusnya menang,” ungkap Tita kecewa di Podcast Quotient TV yang dipandu langsung Advokat Alvin dari LQ Indonesia Law Firm.
Ketika membawa kasus ini ke Mahkamah Agung (MA), Tita justru diminta menyetor sejumlah uang.
“Saya sudah mengajukan PK, dan kuasa hukum saya diminta sejumlah uang,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan bahwa banyak korban lain yang tidak mampu menyewa pengacara dan akhirnya kehilangan tanah mereka meskipun mereka berhak atas tanah tersebut.
Alvin Lim selaku host Podcast Quotient TV menanggapi, seharusnya tidak ada biaya untuk proses dari Pengadilan Negeri ke MA.
Alvin pun menyoroti ketidakadilan yang dialami Tita dan korban lainnya, serta menyerukan perlunya perhatian lebih terhadap hukum adat dalam putusan Pengadilan.
Tita berharap agar tanahnya bisa kembali tanpa harus membayar agunan, mengingat kasus ini sudah berlangsung selama 7 tahun.
Dia mengaku sudah melapor ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN), namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
“Saya mempertanyakan kinerja MA jika masalah ini tidak selesai,” tambahnya.
Alvin Lim menekankan pentingnya memperhatikan hukum adat dalam proses peradilan. “Hukum adat perlu diperhatikan kepada Hakim, jika tidak akan ada ketidakadilan,” ujarnya.
Menurut Alvin, ketidakpahaman atau pengabaian terhadap hukum adat dapat berakibat pada keputusan yang tidak adil dan merugikan masyarakat yang hidup berdasarkan adat tersebut.
“Kasus Tita ini mencerminkan masalah yang lebih luas terkait mafia tanah dan ketidakpastian hukum di Indonesia,” jelasnya.
Banyak masyarakat, terutama di daerah, menghadapi kesulitan serupa namun tidak memiliki cukup sumber daya untuk memperjuangkan hak mereka.
“Ketiadaan biaya dan kerumitan proses hukum sering kali membuat mereka terpaksa menerima keputusan yang tidak adil,” imbuhnya.
Untuk itu, dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga hukum dan pemerintah, sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti ini secara adil dan transparan.
“Perlu ada perhatian khusus terhadap penerapan hukum adat dalam proses peradilan agar masyarakat adat dapat terlindungi hak-haknya,” tutur Alvin.
Tita berharap agar kasus tanah adat ini menjadi perhatian publik dan Pemerintah, sehingga keadilan bisa ditegakkan dan hak mereka atas tanah warisan dapat dikembalikan tanpa adanya beban tambahan yang tidak semestinya.
“Kami hanya ingin keadilan,” pungkas Tita, menggambarkan harapan sederhana namun mendalam dari para korban mafia tanah. (Indra)