BERITA JAKARTA – Kasus korupsi proyek pengadaan Base Transceiver Station (BTS) 4G di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp8 triliun hingga kini masih menyisahkan persoalan hukum.
Tersiar kabar penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, enggan menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO), terhadap saksi Nistra Yohan.
Padahal, penyidik telah berulang kali memanggil, Nistra Yohan secara patut, guna dimintai keterangannya sebagai saksi terkait proyek pengadaan BTS 4G namun hingga kini yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan penyidik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada dugaan penyidik ogah menerbitkan surat DPO, lantaran memorandum Jaksa Agung Nomor: 127, tentang upaya meminimalisir dampak penegakan hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024 dan memorandum Nomor: 128, tentang optimalisasi peran Intelijen dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Oleh sebab itu Lembaga Pengawasan, Pengawalan dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), mengajukan pra peradilan terhadap Jaksa Agung RI ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Diajukannya pra peradilan tersebut menurut keterangan Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, tindak pidana korupsi dimaksud menjadi terang benderang.
“Kami mengajukan pra peradilan dengan tujuan agar kasus korupsi proyek pengadaan BTS 4G Bakti Kominfo menjadi terang benderang,” ucap Kurniawan, Rabu (24/1/2024).
Kurniawan berujar, ada kesan Penyidik Pidsus Kejagung tebang pilih, dalam penerbitan surat DPO. Karena berdasarkan keterangan Irwan Hermawan dan Windi Purnama (keduanya menjadi terdakwa), terdapat aliran dana korupsi BTS yang mengalir ke oknum Anggota DPR Komisi I.
Ditambahkannya, bahwa hingga permohonan pra peradilan diajukan ke PN Jakarta Selatan, diketahui Nistra Yohan adalah Anggota Partai Gerindra dan belum pernah diumumkan terjadi pemecatan oleh Partai Gerindra terhadap, Nistra Yohan.
“Sehingga seharusnya Partai Gerindra memiliki pengetahuan atas domisili Nistra Yohan untuk dapat diajukan kepada Jaksa Agung sebagai Termohon,” katanya.
Kurniawan mengatakan sebelum permohonan pra pradilan diajukan ke PN Jaksel, LP3HI pada bulan Oktober 2023, pernah mengirimkan surat kepada Termohon melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk bekerja sama dengan Partai Gerindra, tempat dimana Nistra Yohan berafiliasi politik, untuk mempermudah pencarian dan mendudukkannya ke persidangan.
“Namun, hingga permohonan aquo diajukan, tidak terdapat respon dari Termohon maupun Partai Gerindra, termasuk tidak terdapat bukti nyata adanya kerja sama dari Partai Gerindra untuk mengantarkan Nistra Yohan kepada Termohon,” tandas Kurniawan.
Korupsi Proyek BTS 4G
Kasus ini bermula dari penyediaan BTS dan infrastruktur pendukung Paket 1, 2, 3, 4 dan 5. Seluruhnya berada di wilayah 3T Indonesia yang meliputi di Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Nusa Tenggara Timur.
Bakti bekerja sama dengan penyedia jaringan terpilih menandatangani kontrak payung yang awalnya dengan ditandatangani Bakti dengan Fiberhome, Telkom Infra dan Multitrans Data yang sepakat membangun BTS 4G di paket 1 dan 2 dengan total nilai Rp9,5 triliun selama 2021-2022.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menyerahkan hasil perhitungan kerugian negara terkait kasus BTS 4G itu kepada Kejagung. Dalam laporannya, BPKP menemukan kerugian negara senilai Rp8,032 triliun.
Bahwa atas laporan BPKP tersebut, Pidsus Kejagung telah melakukan penyidikan perkara dugaan korupsi proyek pengadaan BTS Bakti Kominfo dan telah menyidangkan 7 terdakwa yakni:
Menteri Kominfo Jhony G Plate, Direktur Utama BAKTI Kemenkominfo Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galubang Menak dan Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Tahun 2020, Yohan Suryanto.
Ada juga Komisaris PT. Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan dan Account Director of Integrated PT. Huawei Investment Mukti Ali dan Windy Purnama.
Bahwa berdasarkan pemeriksaan terhadap Irwan Hermawan dan Windi Purnama, terdapat aliran dana yang diberikan ke beberapa pihak, yaitu, aliran dana diduga diterima oleh salah satu staf Menteri pada April 2021-Oktober 2022 sebesar Rp10 miliar.
Anang Latif diduga menerima aliran dana pada Desember 2021 sebesar Rp3 miliar. Pada pertengahan tahun 2022, pihak OKJA bernama Feriandi dan Elvano diduga menerima aliran dana sebesar Rp2,3 miliar.
Pada bulan Maret 2022 dan Agustus 2022, pihak terkait bernama Latifah Hanum diduga menerima aliran dana sebesar Rp1,7 miliar.
Pada Desember 2021 dan pertengahan tahun 2022, pihak terkait bernama Nistra menerima uang sebesar Rp70 miliar.
Dugaan adanya pihak Pertamina yang ikut menerima aliran dana terbukti dengan adanya dugaan pihak bernama Erry yang menerima uang sebesar Rp10 miliar.
Pada bulan Juni-Oktober 2022, pihak terkait bernama Walbertus Wisang diduga menerima uang sebesar Rp4 miliar.
Pada bulan Agustus-Oktober 2022, pihak terkait bernama Windu dan Setyo diduga menerima uang sebesar Rp75 miliar.
Pada bulan Agustus 2022, pihak bernama Edward Hutahaean diduga menerima aliran dana sebesar Rp15 miliar.
Pada bulan November- Desember 2022, Menpora Dito Ariotedjo disebut ikut menerima aliran dana sebesar Rp27 miliar.
Pada pertengahan 2022, pihak bernama Sadikin diduga menerima aliran dana sebesar Rp40 miliar. (Sofyan)