KEHADIRAN penyair dan sastrawan perempuan dalam gelanggang kesusastraan Indonesia tidak sebanyak nama-nama sastrawan laki-laki di awal abad 20-an. Meski begitu, kehadiran mereka tidak kalah penting untuk dibicarakan baik dari sisi ketokohan dan kekaryaannya.
Pada putaran siniar kali ini Komunitas Salihara mengangkat topik “Para Perempuan Penulis”, topik ini dimaksudkan untuk mengenal sekaligus menampilkan pentingnya gagasan dan karya penulis perempuan yang namanya barangkali jarang kita dengar.
Pada episode pertama, Ibam (Ibrahim Soetomo) sebagai pemandu acara ditemani oleh narasumber Dhianita Kusuma Pertiwi (penulis) membahas Soewarsih Djojopuspito yang dikenal lewat roman “Manusia Bebas” yang terbit pertama kali dalam bahasa Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bibit Pergerakan Nasional dalam Diri Soewarsih
Diskusi dibuka dengan pertanyaan oleh Ibam “Apa yang membuat Soewarsih perlu turun ke pusaran pergerakan? Apakah ada pengaruh dari suaminya? Atau apakah ini adalah keputusan Soewarsih sendiri?”,
Dhianita menjelaskan bahwa Soewarsih lahir dari lingkungan ningrat dengan ayah yang berprofesi sebagai dalang. Walaupun ayahnya seorang yang buta huruf, namun ia sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak laki-laki maupun perempuan.
Hal ini yang membuat Soewarsih dan kakaknya–Nining–sudah disekolahkan di sekolah Belanda seperti Kartini School, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan sekolah pendidikan guru di Surabaya.
Dalam masa studinya di sekolah pendidikan guru ini, Soewarsih dan Nining menjadi dua bumi putera dari total 28 murid lainnya yang keturunan Belanda. Dhianita pun mengutip sebuah tulisan yang ditulis Soewarsih dengan kakaknya, berbunyi: “Pendidikan itu satu-satunya senjata buat kami untuk menghadapi tantangan masa depan.”
Kutipan tersebut menjadi penanda bahwa sebagai perempuan dan bumiputera di masa tersebut pendidikan sangatlah diperlukan. Selain itu, keikutsertaan Soewarsih dalam organisasi seperti Jong Java semakin memantik kesadaran wanita kelahiran 20 April 1912 ini untuk aktif di dalam pergerakan, terutama untuk menggaungkan pendidikan bagi perempuan bumiputera dengan aktif mendirikan sekolah-sekolah liar.
Dhianita menegaskan bahwa kesadaran–untuk aktif dalam pergerakan nasional–tersebut sudah hadir jauh sebelum ia menikahi suaminya, Sugondo Djojopuspito pada 1933.
Menyuarakan emansipasi perempuan memang menjadi fokus utama dalam pergerakan Soewarsih. Tidak hanya menyuarakan tentang emansipasi, suara vokal Soewarsih juga melebar pada isu-isu lain terutama dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda, terutama pasca ia menikah dan masuk ke dalam lingkaran tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Soewarsih tercatat pernah menulis artikel pada 1941 di sebuah majalah revolusi, Kritiek en Opbouw yang isinya meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengembalikan para tokoh nasionalis yang dibuang ke Boven Digoel, Papua Selatan.
Kebangkitan Karya Soewarsih di Negara Asing
Diskusi ini juga membahas hubungan antara Soewarsih dengan Edgar du Perron, terutama bagaimana du Perron memiliki peran yang besar dalam mendorong Soewarsih untuk menerbitkan karya perdananya yaitu Buiten het Gareel (Manusia Bebas).
Dhianita sebagai narasumber menjabarkan bahwa sebelumnya Soewarsih juga sudah pernah menulis sebuah novel pendek dalam bahasa Sunda yang kemudian dikirimkan ke Balai Pustaka namun ditolak akibat penggunaan bahasa yang dinilai rendahan dan substansi yang subversif yakni mengenai perempuan yang tidak bahagia dalam kehidupan pernikahannya.
Pascapenolakan tersebut, Soewarsih bertemu dengan du Perron dan menceritakan penolakan yang ia terima dari Balai Pustaka. Edgar Du Perron seorang penyair Belanda mendorong Soewarsih untuk kembali menulis namun kali ini menggunakan bahasa Belanda.
Dorongan ini bukan tanpa sebab, Soewarsih yang besar lewat pendidikan yang berbasis bahasa Belanda lebih terbiasa menulis dalam bahasa tersebut. Sebab menurut penuturan Dhianita, bahasa ibu Soewarsih adalah Sunda, dan bahasa Belanda adalah bahasa kedua yang Soewarsih fasih menggunakannya.
Selain menyarankan untuk mengganti penggunaan bahasa, du Perron juga meminta Soewarsih menulis dengan cara yang terbuka, personal, dan langsung sehingga cara penulisan ini dinilai memberikan warna baru dalam kesusastraan Indonesia pada masa tersebut.
Naskah tersebut akhirnya dibawa oleh du Perron ke Belanda dan diterbitkan di Utretch dengan judul Buiten het Gareel di mana du Perron juga menuliskan kata pengantarnya dalam buku tersebut.
Buku ini termasuk ke dalam otobiografi fiksi di mana Soewarsih merepresentasikan dirinya dalam tokoh yang ia namakan Sulastri. Buku ini menampilkan kompleksitas antara ruang publik dan ruang privat di mana Sulastri digambarkan memiliki kompleksitas baik di rumah tangganya, seperti masalah keuangan dan relasi dengan suaminya, Soedarmo dan kehidupannya di luar sebagai seorang wanita yang aktif dalam kegiatan aktivis dalam mendirikan sekolah-sekolah liar.
Dhianita menyebutkan lewat karyanya, Soewarsih ingin memperlihatkan bahwa perjuangan emansipasi tidak hanya dilakukan di ruang publik saja namun juga terjadi dalam skala kecil seperti ruang-ruang privat bahkan termasuk hak dalam menentang poligami karena bagi Soewarsih, pernikahan tidak seharusnya mereduksi peran dan hak perempuan.
Perjuangan Manusia Bebas untuk Hadir di Indonesia
Novel Buiten het Gareel atau “Manusia Bebas” yang mendominasi diskusi 40 menit ini memiliki perjalanan yang cukup sulit untuk bisa dinikmati pembaca Indonesia. Mulai dari awal terbitnya pada 1940 yang tidak bisa didistribusikan di Indonesia akibat situasi perang, bahkan saat cetak ulangnya pada 1946 akibat agresi militer yang terjadi di tanah air.
Novel ini baru bisa dibaca dalam bahasa Indonesia pada 1975 lewat penerbit Djambatan. Dhianita mengakui bahwa penerimaan karya ini tidak semeriah karya bertema nasionalis lainnya yang banyak menggunakan narasi heroik dan maskulin. Soewarsih cenderung banyak menggunakan unsur-unsur privat yang dinilai sepele dan remeh.
Kekuatan Soewarsih dalam menembus batas-batas gender akan peran dan posisi perempuan di masanya juga terlihat di karya-karyanya yang lain. Dhianita menemukan adanya benang mereka antar karya Soewarsih yang ia baca berjudul Marjanah dan kumpulan cerpen Empat Serangkai dengan Manusia Bebas.
Adanya unsur otobiografis yang menunjukkan perjuangan serta pengangkatan tema yang berani dalam melawan batas-batas gender. Dhianita menilai itu menjadi salah satu langkah berani Soewarsih untuk menggambarkan bagaimana perempuan digambarkan baik dari posisi dan perannya di ranah privat maupun pergerakan.
Soewarsih menjadi penting untuk dibaca karena melalui karyanya, kita bisa mengetahui bahwa memulai perubahan bisa berawal dari unsur-unsur terkecil seperti ranah privat, tidak harus melalui aksi heroik besar atau berorasi di depan banyak orang.
Soewarsih menyadarkan bahwa untuk menceritakan pergerakan, kita tidak perlu ragu untuk menceritakan diri kita. Karena lewat penyampaian otobiografis tersebut, gagasan yang ingin kita sampaikan akan terasa lebih personal.
Diskusi selengkapnya bisa Anda dengarkan dalam Siniar Salihara Ngomong-ngomong Soal Soewarsih dan Dilema Kaum Pergerakan di Youtube, Apple Podcasts, Spotify dan Noice.
Tentang Komunitas Salihara Arts Center
Komunitas Salihara Arts Center merupakan sebuah Institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian Selatan Jakarta. (Alina)