BERITA JAKARTA – PT. PAL Indonesia diminta untuk memenuhi putusan arbitrase The London Maritime Arbitrators Association (LMAA), terkait pembuatan kapal Larch Arrow dan Birch Arrow pada 2014 lalu. Putusan itu, mewajibkan PT. PAL membayar ganti rugi kepada pihak Reederei M Lauterjung sebagai pemesan dua kapal tersebut.
“Guna perhitungan sementara sampai akhir tahun 2021, PT. PAL memiliki total kewajiban pembayaran kerugian kepada klien kami kurang lebih sebesar US$ 270.000 dan GBP 12.000,” ujar M. Iqbal Hadromi dan Gita Petrimalia dari Kantor Hukum Hadromi & Partners selaku Kuasa Hukum Reederei M Lauterjung di Jakarta, Jumat (27/5/2022).
Perkara itu, bermula ketika perusahaan Jerman, Reederei M. Lauterjung, memesan dua buah kapal kepada PT. PAL pada 2004 silam. Namun, kapal-kapal tersebut tidak kunjung dibuat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibatnya, pada 2014 perusahaan pelat merah tersebut digugat di arbitrase The London Maritime Arbitrators Association (LMAA). Putusannya, PT. PAL kalah dan diwajibkan untuk membayar kerugian kepada Reederei M. Lauterjung.
Sayangnya, PT. PAL tidak kunjung merealisasikan kewajiban pembayarannya meskipun Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, telah menetapkan putusan arbitrase asing LMAA itu dapat dilaksanakan.
“Ini adalah catatan buruk bagi perusahaan BUMN di praktek bisnis internasional sebab tidak mengindahkan putusan arbitrase internasional dan penetapan pengadilan,” tegas Iqbal.
Pada 2016, lanjut dia, aset PT. PAL berupa gedung di Jalan Tanah Abang II No. 27 yang digunakan sebagai kantor perwakilan berhasil disita.
“Gedung milik PT. PAL yang telah disita ini, siap kami lelang apabila PT. PAL masih tetap tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya berdasarkan putusan arbitrase,” tegas Iqbal Hadromi.
Iqbal berharap Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir turun langsung memerintahkan PT. PAL dapat segera menyelesaikan kewajiban-kewajibannya sesuai putusan arbitrase dan penetapan Pengadilan.
Apabila tidak, lanjut Iqbal, maka kerugiannya semakin bertambah setiap tahun, belum lagi dampak buruk terhadap citra perusahaan Indonesia, khususnya yang berstatus BUMN.
“Selain akan menjadi sorotan negatif di mata dunia internasional terhadap Indonesia, hal ini bisa berdampak makin banyak perusahaan-perusahaan asing akan kuatir berbisnis dengan perusahaan BUMN Indonesia,” tutup Iqbal Hadromi.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT. PAL Indonesia, Rariya Budi Harta menyatakan atas pemberitaan isu penyelesaian pembangunan kapal dengan Reederei M Lauterjung pada prinsipnya, PT. PAL Indonesia senantiasa menghormati dan mematuhi hasil putusan arbitrase Internasional maupun setiap proses hukum yang berjalan.
“Hingga kini belum ada putusan yang absolut terkait hal tersebut. Kami berupaya melakukan penyelesaian non litigasi bersama Reederei M. Lauterjung GmbH & Co. KG,” ujarnya secara tertulis.
Dia menjelaskan, saat ini PT. PAL Indonesia sedang dalam proses restrukturisasi bisnis dan transformasi industri maritim berbasis 4.0, sehingga diperlukan waktu mendalam mengenai perhitungan finansial dalam rangka kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk Reederei M. Lauterjung GMBH& Co. KG.
“Dengan dasar tersebut diatas, sebagai upaya non litigasi yang selama ini telah terbangun sebagai wujud itikad baik, PT. PAL Indonesia sudah mengajukan proposal skema pembayaran sebanyak 7 kali mulai tahun 2011 hingga 2020, namun pengajuan proposal tersebut selalu ditolak Kantor Hukum Hadromi & Partners selaku Kuasa Hukum Reederei M. Lauterjung GMBH & Co. KG,” pungkasnya. (Sofyan)