BERITA JAKARTA – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan percepatan penanganan virus Corona atau Covid-19 mulai diberlakukan di Jakarta, Jumat (10/4/2020).
Selain Jakarta, beberapa daerah lain seperti Bogor, Depok dan Bekasi juga telah mengajukan PSBB kepada Pemerintah Pusat.
Menurut pengamat Kebijakan Publik Wibisono menyatakan, mekanisme PSBB harus lebih diperjelas. Hal ini agar nantinya PSBB bisa seragam antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang menjalankan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Meski PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sudah diterbitkan, PP tersebut secara substansi belum begitu jelas,” ujar Wibi menyatakan ke awak media di Jakarta.
Lanjut Wibi, cara komunikasi Pemerintah saat terjadinya pandemi virus Corona atau Covid-19 menjadi salah satu yang menjadi sorotan masyarakat.
“Menurut saya dari sisi informasi kasus Covid-19 ini karakternya adalah karakter informasi yang belum sepenuhnya dipahami, sehingga banyak menjadikan ketidakpastian publik dalam merespons hal itu. Berbagai negara juga terkesan tidak siap mengelola problem ini,” ulas Wibi
Informasi tentang Covid-19 di Indonesia telah menjadi kode ganda (multicodes), yaitu kode kesehatan dan kode ekonomi.
“Sebenarnya sah-sah saja Indonesia memaknai pandemi ini sebagai kode ganda seandainya optimal. Tetapi risikonya kita kehilangan fokus utama- primer. Mana yang duluan? Kesehatan duluan atau kemanusiaan duluan,” kata Wibi.
Selanjutnya, menurut Pembina dibeberapa organisasi sosial dan hukum ini mengungkapkan bahwa berbicara karakter komunikasi publik dalam masa pandemik, ada tiga hal yaitu komunikasi risiko, komunikasi krisis dan komunikasi kedaruratan (emergency).
Komunikasi risiko artinya sebaiknya sebelum sebuah peristiwa terjadi maka Pemerintah sudah mempersiapkan respons yang cepat, transparan, dan mudah diakses.
Sementara komunikasi krisis memiliki karakter komunikasi untuk dikelola secara strategis dan membingkai persepsi publik pada apa yang diharapkan untuk diikuti.
Disini sifatnya adalah jujur, akurat dan seharusnya tidak bias, tepat, cepat, dan lengkap. Kemudian, komunikasi kedaruratan adalah bagaimana menjamin publik tetap terinformasikan dalam situasi pandemik serta menjaga kepercayaan publik terhadap kemampuan Pemerintah mengatasi masalah.
Pemerintah Indonesia sayangnya harus menghadapi tiga hal serius secara bersamaan. Sehingga respons komunikasinya harus spesial,” tutur pengusaha yang aktif menjadi pengamat multi dimensi ini.
Pada saat yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 ini, masyarakat juga dihadapkan dengan problem wabah informasi (infodemic), yaitu jumlah informasi yang luar biasa membombardir masyarakat yang membuat sulit mengidentifikasi mana informasi yang benar dan yang salah, serta mana yang memberikan tawaran yang solutif untuk menghadapi pandemi ini. Persoalan ini terkadang lebih mengerikan daripada virus itu sendiri.
Oleh karena itu yang harus dikembangkan adalah komunikasi yang meminimalkan rumor (hoax) dan kesalahpahaman yang berpotensi menjauhkan dari respons yang seharusnya.
Dalam situasi seperti ini media sangat berperan penting dalam komunikasi publik. “Media seharusnya tetap berpijak pada logika publik dalam menghadapi masa krisis dan menemani masyarakat untuk keluar dari masa-masa sulit,” tegasnya
Tantangan bagi pemerintah Indonesia tidak mudah karena kita punya permasalahan berat yang belum pernah tuntas kita selesaikan. Pertama, adalah bangunan sistem komunikasi publik yang lemah.
Kedua tambah Wibi, dominasi media sosial (medsos) yang cenderung sangat terbuka dengan keragaman informasi yang sangat banyak tapi kurang akurat (banyak hoax) akibatnya gambaran di kepala masyarakat menjadi sangat beragam.
“Sementara ini media publik (mainstream) kurang mampu secara kuat memberikan warna dalam jelas dan akurat dalam narasi mengenai Pandemi Covid-19,” pungkas Wibi. (Usan)