Di Masa Karantina, Pemda Hendaknya Tak Lupakan Wartawan

- Jurnalis

Kamis, 2 April 2020 - 15:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

MENYIKAPI kondisi penyebaran virus Corona atau Covid-19 hari-hari ini, banyak daerah yang sudah menerapkan kebijakan Karantina Wilayah. Kebijakan tersebut mewajibkan semua warga harus tinggal di rumah (Stay at Home) dan melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home). Anak sekolahpun sudah diliburkan hampir dua minggu berjalan dan mewajibkan para siswa belajar dari rumah (Online Learning).

Bagi beberapa kelompok warga, kebijakan lock-down ala Indonesia (baca: karantina biaya mandiri) itu tidak begitu merepotkan, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai pemerintah atau pengusaha. Kelompok warga ini, walau di level kepegawaian rendahan sekalipun, masih memiliki harapan untuk mendapatkan tunjangan pembiayaan hidup sehari-hari. Minimal dari gaji bulanan mereka.

Namun, bagi sebagian besar rakyat, kebijakan stay at home merupakan sesuatu yang sangat merisaukan. Karyawan atau buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan tukang ojek adalah beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya hanya berharap dari kerja harian. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup dari hari ke sehari. Dapat uang hari ini, habis untuk biaya hari ini, kadang tidak cukup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kondisi itu merupakan situasi yang dihadapi ratusan ribu jurnalis se-Indonesia. Kehidupan mereka juga amat memprihatinkan, hidup sehari ke sehari dengan pendapatan yang seadanya. Wartawan Indonesia adalah salah satu kelompok rakyat yang selama ini terabaikan di negerinya sendiri. Taraf perekonomian kebanyakan para jurnalis tergolong berada di bawah garis pra-sejahtera (untuk tidak mengatakan garis kemiskinan).

Terdapat beberapa faktor yang membuat kesejahteraan para jurnalis di tanah air sulit beranjak naik. Jangankan untuk menabung, pendapatan sehari-hari saja hanya cukup untuk biaya keseharian keluarganya. Jikapun ada wartawan yang sejahtera, umumnya mereka adalah pemilik media atau jurnalis yang mempunyai bisnis di luar jurnalistik.

Beberapa perusahaan media yang memiliki ribuan wartawan, sebutlah Kompas sebagai contoh, dapat memberikan penghasilan yang hampir memadai bagi wartawannya. Perusahaan media nasional itu memiliki beberapa jaringan bisnis non-jurnalitik, seperti properti, perhotelan, hingga perkebunan dan pertambangan. Hal tersebut menjadikan Kompas dapat bertahan di tengah gelombang dasyat kemajuan media online yang tidak dapat dimonopoli oleh media tertentu saja.

Walaupun begitu, pola pemberian gaji bagi para wartawan media nasional sebesar Kompas, tidaklah sama alias tidak merata bagi ribuan wartawannya itu. Kinerja sang wartawan amat menentukan penghasilan yang bersangkutan. Dengan kebijakan media besar seperti ini, tentunya masih menyisakan banyak rekan wartawannya yang hidup pas-pasan, dapat sehari, habis sehari.

Jika kondisi kalangan jurnalis yang bekerja di media-media besar, yang mempunyai jaringan bisnis beromset miliaran hingga triliunan, masih cukup memprihatinkan, maka dapat dibayangkan kehidupan para jurnalis di daerah-daerah yang hanya bermodal idealisme dan semangat empat-lima. Bekerja dengan bermodal sebuah android untuk merekam hasil wawancara sekaligus mengambil foto sang narasumber dan obyek berita, tentunya tidak akan memberikan hasil (pendapatan) yang cukup.

Akibatnya, di saat-saat genting masa karantina seperti sekarang, kalangan jurnalis merupakan kelompok rakyat yang amat rapuh dari sisi ekonomi. Sebagian besar mereka tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup, tidak juga memiliki tabungan dana yang memadai untuk menjalani masa stay at home, walau untuk beberapa hari sahaja. Jika sang wartawan memiliki keluarga dengan jumlah anak yang cukup banyak, semisal 3 atau 4 orang, tentunya menjadi beban yang sangat berat baginya.

Wartawan tidak akan pernah berputus asa, apalagi mengeluh, terlebih lagi mengemis kepada siapapun. Idealisme seorang wartawan yang selalu siap untuk hidup menderita merupakan pegangan utama bagi mereka. Jangan pernah berharap bahwa wartawan akan datang ke pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk sekedar meminta bantuan. Justru, para jurnalis sejati akan bergerak untuk menggalang kekuatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Wartawan hanya lantang suara ketika memperjuangkan rakyat, tetapi diam seribu bahasa jika bicara soal nasib-hidupnya sendiri.

Walaupun wartawan diam, janganlah beranggapan mereka kuat dan mampu bertahan tanpa makan-minum sehari-hari. Wartawan tetaplah manusia. Mereka butuh asupan makanan untuk tetap bisa hidup. Mereka juga butuh menghidupi anak-istrinya sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaannya di keluarganya.

Pemerintah semestinya tidak melupakan kalangan jurnalis sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang wajib diayomi dan dilindungi hidupnya. Berikan akses ke sumber-sumber ekonomi yang ada di lingkungan pemerintah, baik dari alokasi anggaran APBN/APBD maupun bentuk bantuan lainnya. Pemanfaatan keuangan yang bersumber dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan-perusahaan yang ada di daerah masing-masing dapat dimaksimalkan membantu warga masyarakat terdampak, termasuk kalangan wartawan.

Paling penting dari semua ini adalah bahwa para pengambil kebijakan di pemerintahan daerah semestinya peka terhadap kebutuhan warganya, terutama dari kalangan “pendiam” wartawan. Mereka adalah bagian dari tanggung jawab Anda, karena mereka adalah rakyat Anda. Saya hanya menyuarakan keresahan ratusan ribu wartawan se-nusantara, yang tidak pernah mereka utarakan, bahkan kepada sayapun tidak pernah. (***)

Jakarta 2 April 2020

Oleh: Wilson Lalengke (Penulis adalah Ketua Umum PPWI, Alummni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012)

Berita Terkait

Setelah Pemilu 2024 Apakah Akan Banyak Caleg Yang Masuk Rumah Sakit Jiwa?
Didukung 7 RT, Ketua RW024 Perum VGH Sahid Sutomo Lanjut Genapi 5 Tahun
Pengawasan Model Kerjasama Komisi Yudisial, Kepolisian dan KPK
Wow…!!!, Setahun Penyidikan di Kejati DKI Belum Ada Tersangka Korupsi?
Pesta Narkoba, Kepala UPTD Pajak dan Retrebusi Kota Bekasi Diciduk Polisi
Sampai Bubar, Pemain Persipasi Kota Bekasi TC Lembang Belum Terima Transport
Pakar Hukum Dorong Kasus Bos Kalpataru Sawit Plantation Terapkan Pasal TPPU
HDCI Berikan Bantuan Korban Erupsi Gunung Semeru
Berita ini 4 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 14 Desember 2023 - 15:31 WIB

Setelah Pemilu 2024 Apakah Akan Banyak Caleg Yang Masuk Rumah Sakit Jiwa?

Senin, 9 Oktober 2023 - 16:10 WIB

Didukung 7 RT, Ketua RW024 Perum VGH Sahid Sutomo Lanjut Genapi 5 Tahun

Minggu, 6 Agustus 2023 - 13:49 WIB

Pengawasan Model Kerjasama Komisi Yudisial, Kepolisian dan KPK

Senin, 17 April 2023 - 21:30 WIB

Wow…!!!, Setahun Penyidikan di Kejati DKI Belum Ada Tersangka Korupsi?

Senin, 17 April 2023 - 15:13 WIB

Pesta Narkoba, Kepala UPTD Pajak dan Retrebusi Kota Bekasi Diciduk Polisi

Berita Terbaru

Ilustrasi

Berita Ekonomi

Penambangan Emas di Tiongkok Mengalami Penurunan

Rabu, 30 Okt 2024 - 06:02 WIB

Foto: Tom Lembong Saat Mengenakan Rompi Kejaksaan

Hukum

Kasus Impor Gula, Kejagung Tahan Eks Mendag Tom Lembong

Rabu, 30 Okt 2024 - 05:52 WIB

Foto: Pakar Hukum: Abdul Fickar Hadjar

Berita Utama

Dr. Abdul Fickar Hadjar “Kekuasaan Cenderung Korup”

Selasa, 29 Okt 2024 - 17:22 WIB