“Kegagalan Sipil Society Yang Diharapkan Mampu Mengawal Orde Reformasi, Perubahan Yang Radikal Maka Rakyat Harus Bersatu-Padu”
BERITA JAKARTA – Orang Indonesia suka kepo deh, masalah kata atau kalimat saja diperdebatkan seperti mau perang yang dibahas bukan pada fungsi dan tujuannya. Seperti pribahasa ‘tak penting kucing itu warnanya hitam, coklat atau putih yang penting bisa dan mau tangkap tikus yang mencuri uang rakyat’.
Tak penting Presiden itu sebutan apa oleh partai politik yang usung atau rekomendasikan hingga bisa maju. Yang terpenting mau dan bisa memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Terus kalau hanya berhenti pada sebutan ‘petugas rakyat’ tapi kenyataannya tidak melayani rakyat Indonesia, lalu apa yang bisa rakyat Indonesia lakukan,” kata pengamat politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen kepada wartawan di Jakarta, Minggu (25/6/2023).
Kalau mau ada perubahan yang radikal maka rakyat harus bersatu-padu dan bersikap yang tegas dan keras untuk memperbaiki kerusakan sistem reproduksi kepemimpinan nasional dan daerah yang semuanya dikendalikan oleh partai politik.
“Tak bisa maju jadi Capres kalau tidak didukung oleh partai atau gabungan partai politik, ini aturan Undang-Undang,” tegas Silaen.
Semuanya dikendalikan oleh partai politik, semua sumber rekrutmen dan rejeki di politik itu juga dipegang dan dikuasai oleh partai politik. Terus apalah artinya ribut hanya soal istilah petugas partai vs petugas rakyat?
“Tokh memang kenyataannya demikian. Terus rakyat mau apa, bisa apa dan dapat apa?,” tanya Silaen.
Soal hasil survey yang beda saja diributin yang nampak jelas didepan mata, terang- benderang saja dibiarkan oleh rakyat sendiri soal perampokan sumber daya alam. Justru inilah kegagalan sipil society yang diharapkan mampu mengawal orde reformasi ini, justru hanya elit saja yang menikmati.
“Pada era 98 ramai- ramai mendesak menurunkan mantan Presiden Soeharto cuma mau ganti pemain saja,” sindir Silaen.
Tokh hasil sekarang ini, kembali lagi ke era Soeharto hanya ganti pemain, (kutip: Mahfud MD malah sekarang korupsinya sangat parah) dengan pemain baru yang jauh lebih rakus dan tamak.
“Menyingkirkan orde baru dan berganti baju neo orde baru. Karena semua elit politik dan penguasa berkolusi untuk merampok harta kekayaan alam Indonesia,” kritik Silaen.
Apa yang mesti dibanggakan dari orde reformasi ini? orde reformasi banyak Lembaga, Komisi dan Satgas dibentuk cuma untuk bagi-bagi kekuasaan, karena kenyataannya miskin fungsi kecuali hanya untuk habiskan Anggaran Negara.
“Lalu saling sandera-menyandera diantara pihak-pihak pimpinan Lembaga atau Komisi itu sendiri. Tak ada manfaatnya bagi rakyat Indonesia,” beber Silaen.
Kekayaan alam yang tidak terbarukan itu habis dirampok oleh penguasa dan elite politik. Tanpa berusaha ‘mengerem’ agar sedapat mungkin masih bisa tersisa buat generasi penerus bangsa Indonesia ini.
“Kecuali bangsa Indonesia ini direncanakan bubar dalam waktu tertentu,” ucap mantan Fungsionaris DPP KNPI itu.
Kalau sumber daya alam Indonesia habis disedot karena keserakahan dan aji mumpung, lalu apakah penguasa dan kroninya saja yang layak hidup yang lain mati kabeh (semua). Angka kelahiran bangsa Indonesia ini termasuk yang cukup tinggi di dunia.
“Apakah bangsa Indonesia akan mengekspor TKI atau TKW ke negara lain, baru bisa hidup,” sebut Silaen.
Lalu apa namanya itu, kalau warga negeri ini berbondong- bondong jadi TKI atau TKW ke negara lain. Artinya bangsa ini berhasil menciptakan generasi penerus yang ‘pengemis dan peminta-minta’ akibat keserakahan dan egoisme pemimpin dan elit yang sedang berkuasa..
“Mudah- mudahan Allah SWT melakukan tindakan yang ekstra ordinary menghukum mereka-mereka yang serakah itu,” pungkas Silaen. (Indra)