BERITA JAKARTA – Pertentangan antara petugas partai vs penyewa atau rental partai, kini menyeruak ditengah masyarakat umum. Terlebih lagi menjelang perhelatan pesta demokrasi Pemiulihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Kalimat yang dipakai soal istilah petugas partai itu di konsepsi-kan sesuatu yang negative, sehingga harus dijadikan sebagai bahan kampanye politik negatif bagi yang tak paham. Seolah-olah kata petugas partai jelek atau buruk?.
“Kalau kata saya, lebih berbahaya penyewa (rental) partai dari pada petugas partai,” terang Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F Silaen saat berbincang dengan Matafakta,com, Sabtu (12/11/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebab, kata Silaen, petugas partai lebih punya moral dan tanggung jawab yang lebih besar ketimbang penyewa atau rental partai politik.
“Penyewa partai politik itu tidak punya beban tanggung-jawab kepada konstituen, karena hanya penyewa partai politik. Parpol-parpol rental dan orang yang rental inilah hal yang tidak baik untuk bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Kenapa bisa begitu, sambung Silaen, karena partai politik yang suka menyewakan atau merentalkan partainya, tidak punya kader unggulan untuk didukung maju sebagai Eksekutif dan Legislatif dan seterusnya.
“Ini problem partai politik yang hanya sebagai pe-rental untuk kaum berduit,” kritik Alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.
Beda halnya, lanjut Silaen, sebagai petugas partai politik yang merupakan kader militan yang sudah teruji secara sosiologis dan klinis serta mampu melakukan amanah bagi bangsa dan negara.
“Sesungguhnya, ini tugas partai politik yang menciptakan dan menyiapkan kader-kader yang terampil dan profesional untuk menjadi pelayan bagi seluruh rakyat Indonesia,” papar Silaen.
Jika partai politik “stempel” tukang rental maka orang yang rental akan cuci tangan apabila ada kegagalan dalam melakukan janji kampanye politiknya.
“Orang atau ngerental yang hanya pinter “ngemeng” alias olah tata kata-kata yang manutnya kepada pemilik rental. Istilahnya cukong atau bohir,” jelas mantan Tenaga Ahli Fraksi DPR RI Senayan itu.
Pemimpin seperti itu, lanjut Silaen lagi, bukan sebagai pelayan rakyat, tapi pelayan cukong. Jadi rakyat hanya dibutuhkan ketika kampanye politik tokh. Selesai terpilih maka janji tinggal janji alias abu nawas.
“Inilah wataknya perpolitikan rental yang hanya mau untung guna mengembalikan biaya rental yang sudah dikeluarkan untuk membiayai kegiatan kampanye politiknya. Parpol yang miskin kader tentu saja akan menjadi parpol rental kepada siapapun yang berani bayar,” beber Silaen.
Silaen mengulas, kader yang dimaksud sebagai petugas partai politik itu karena merupakan kader keras alias tanaman keras partai politik yang sudah digembleng dari nol sampai menjadi something else matters. Itulah yang dimaksudkan sebagai petugas partai politik yakni kader siap pakai yang sudah teruji secara ideologis.
Apabila ada orang tambah Silaen yang me-ngenyek soal sosok figur petugas partai itu salah kaprah dan tidak mengerti maksudnya sebagai kader unggulan partai.
“Naif apabila ada orang yang mengaku tokoh tapi miskin pemahaman tentang anggota (kader) partai politik yang sudah disiapkan untuk tugas- tugas negara sebagai sumber rekrutmen SDM yang berkualitas,” pungkas aktivis Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) itu. (Sofyan)