BERITA JAKARTA – Sidang lanjutan perkara yang melibatkan terdakwa Alvin Lim, SH, BSC, MH, MSC, CFP, CLA, kembali di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya No. 133, RT5/RW10, Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Selasa (26/7/2022).
Dalam agenda pembuktian tersebut, Penasehat Hukum terdakwa, Alvin Lim, menghadirkan Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Dr. Dwi Seno Wijanarko, SH, MH, CPLCE, CPA.
Dalam kesempatan itu, Penasehat Hukum terdakwa Alvin Lim, pertanyakan kepada Ahli Dr. Dwi Seno Wijanarko untuk menjelaskan dalam suatu perkara pemalsuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Misalnya ada seseorang yang sama sekali tidak melakukan atau membuat surat palsu atau yang dipalsukan, jangankan membuat, mengetahui saja tidak tahu, bagaimana tanggapan ahli tentang suatu tindakan yang tidak membuat bersalah dan suatu kejahatan (mens rea) itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan (actus reus)?,” tanya Penasehat Hukum.
Menjawab pertanyaan Penasehat Hukum, Ahli Dr. Dwi Seno Wijanarko menjelaskan dengan tegas bahwa unsur pidana tidak terpenuhi.
“Dapat ahli jelaskan Means Rea (mental element) adalah elemen mental dari niat jahat atau sikap batin seseorang untuk melakukan kejahatan,” sambung Penasehat Hukum.
Dikatakan Dr. Dwi Wijanarko, pengertian actus reus (physical element) adalah perbuatan yang dilarang oleh norma hukum atau dapat diartikan bahwa actus reus merupakan esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan tindak Pidana yang dilakukan oleh subyek hukum.
Korelasi antara means rea dan actus rea adalah apabila means rea dan actus rea dalam tindak pidana saling melengkapi dan saling berkesesuaian satu sama lain, maka bagi pelaku delik telah dapat terpenuhi kualifikasi tindak pidana.
“Actus rea dan means rea adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menentukan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang,” jelas Ahli.
Berkaitan dengan contoh kasus tersebut diatas ahli berpendapat bahwa terhadap seseorang tersebut yang sama sekali tidak melakukan, membuat palsu atau yang dipalsu tidak dapat dikualifikasikan melakukan tindak pidana pemalsuan.
“Sebab tidak ada niatan jahat (means rea) oleh pelaku untuk melakuan perbuatan yang dilarang oleh hukum, maka unsur pidana Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 tidak dapat terpenuhi,” katanya.
Ahli Dr. Dwi Wijanarko melanjutkan, berdasarkan azas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan.
“Jika tidak ditemukan adanya kesalahan maka seseorang tidak dapat jerat pidana, kesalahan merupakan syarat pemidanaan,” ulasnya lagi.
Persidangan semakin menegangkan saat Penasehat Hukum terdakwa Alvin Lim mempertanyakan kepada Ahli, terkait dengan bagaimana hukum acara pidana yang benar, dimana dalam satu waktu persidangan, JPU memeriksa saksi-saksi, memeriksa terdakwa dan saat itu juga sudah ada tuntutannya?,” tanya Penasehat Hukum.
Mendengarkan kembali pertanyaan Penasehat Hukum terdakwa Alvin Lim, Ahli Dr. Dwi Seno Wijanarko menjelaskan, hal tersebut tidak dibenarkan menurut hukum.
“Pada esensinya persidangan adalah untuk menggali kebenaran meteril untuk menguji apakah terdapat kesalahan pada diri terdakwa atau tidak. Selanjutnya surat tuntutan adalah surat yang dibuat oleh Penuntut Umum untuk menuntut terdakwa setelah proses pembuktian selesai,” jawabnya.
Dimana, lanjut Dr. Dwi Seno Wijanarko, didalamnya terdapat uraian identitas terdakwa, saksi-saksi pada fakta – fakta persidangan dan alat bukti lainnya.
“Logikanya kalau hari itu juga saksi-saksi diperiksa lalu dihari itu juga sudah ada surat tuntutan, artinya proses pemeriksaan saksi pada fakta persidangan hanyalah kamuflase saja,” tegasnya.
Ahli yang merupakan mantan seorang Jaksa menambahkan, didalam Kejaksaan itu ada dikenal Rentut atau Rencana Tuntutan Jaksa. Sebelum membacakan tuntutan di Pengadilan, Jaksa biasanya melaporkan dulu rencana atas tuntutan itu kepada atasannya dan didalam proses Rentut harus melewati fase-fase tertentu.
“Kalau tuntutan sudah dibuat dari sebelum-sebelumnya dan mengesampingkan fakta persidangan, maka hal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Republik Indonesia ini,” tegas Dr. Dwi Seno Wijarnarko.
Berkaitan dengan perkara yang disidangkan 2 kali dengan perkara yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara itu menjelaskan, setelah adanya putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap pada esensinya seseorang tidak dapat di persidangkan dengan perkara yang sama, disebut dengan asas “Nebis in idem“.
Namun, terhadap perkara yang sedang di jalani ini, setelah diperjelas oleh Majelis Hakim tentang duduk perkaranya ahli menjelaskan, dapat dibuka kembali sesuai amar putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut, akan tetapi perintah Undang – Undang bahwa dakwaan itu harus diperbaiki dan persidangan harus dimulai dari awal.
“Mulai dari pembacaan dakwaan dan Penasehat Hukum melakukan eksepsi bukan justru melanjutkan persidangan dari Pengadilan tingkat pertama yang sebelumnya, hal ini tidak di benarkan oleh normatif hukum, perintah UU harus diperbaiki dakwaan tersebut dan harus dipersidangan kembali dari awal itulah proses hukum yang benar,” pungkas Dr. Dwi Seno Wajanarko. (Sofyan)