BERITA JAKARTA – Sudah lebih dari 80 hari sejak ditetapkan tersangka Polres Jakarta Barat belum juga melakukan pemeriksaan terhadap Natalia Rusli. Pelapor sebagai korban menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Natalia Rusli malah meminta penundaan pemanggilan polisi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Menanggapi hal tersebut, korban V mengatakan, sesuai KUHAP Polres melalui gelar perkara sudah menetapkan Natalia Rusli sebagai tersangka penipuan dan penggelapan adalah akhir dari proses penyidikan, sehingga tugas Penyidik selanjutnya adalah pemberkasan dan nantinya memenuhi petunjuk Jaksa.
“Nah ini, Polres Jakbar malah bukan periksa tersangka Natalia Rusli agar memenuhi pemberkasan, malah tidak memberikan kepastian hukum bagi kami para korban,” katanya kecewa, Kamis (2/6/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Informasinya yang didapat korban bahwa Natalia Rusli mengajukan permohonan gelar perkara atas penetapan tersangkanya yang dikonfirmasi oleh Karowasidik, Brigjen Iwan Kurniawan “Natalia Rusli datang menemui saya sebelum lebaran dan mengajukan dumas agar bisa digelar perkara di Wasidik atas penetapan tersangkanya.”
Hal itupun, diperkuat pernyataan Natalia Rusli ke media dengan sesumbar “Perkara sepele itu penetapan tersangka, apapun bisa dikondisikan di Kepolisian. Lihat saja nanti hasil gelar perkara akan menghentikan penyidikan Polres Jakarta Barat. Saya kuasa hukum Raja Sapta Oktohari, seorang pejabat tinggi negara. Kapolri saja kemaren bersepeda bareng Raja Sapta Oktohari klien saya, Ketum KOI,” ucapnya.
Korban Natalia Rusli keberatan dengan adanya gelar perkara lagi karena menurutnya, bukankah sebelum penetapan tersangka penyidik dan atasan penyidik sudah adakan gelar perkara? Dimana dalam gelar perkara sudah diperiksa apakah ada 2 alat bukti dan unsur pidana terpenuhi? Lalu jika sekarang diadakan gelar kembali, untuk apa?
“Seharusnya, hasil gelar Polri bisa dipegang oleh Kepolisian, bukan di gelar ulang untuk dihentikan. Dimana kepastian hukum jika ditubuh Kepolisian yang sama dilakukan gelar perkara berulang-ulang. Hari ini gelar tersangka, besok di gelar lagi untuk hentikan pidananya. Maka Polri tidak lagi bisa di pegang keputusan penyidikannya,” tandas korban bingung.
Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA membenarkan kekecewaan korban bahwa Kepolisian membuat aturan internal yang sebenarnya melawan hukum dalam hal gelar perkara, berkali-kali. Misal Polres menetapkan seseorang tersangka setelah gelar di Polres, lalu nanti di Polda Metro Jaya terlapor mengajukan gelar dan dikabulkan dihentikan penyidikan.
Lalu korban, sambung Alvin, mengadu lagi untuk di gelar di Mabes dan di Mabes ditentukan jadi tersangka lagi. Disinilah patut dipertanyakan kepastian hukum dan kualitas dari gelar perkara Polri. Padahal mengenai penetapan tersangka dan penghentian penyidikan sudah di tentukan menjadi ranah Pengadilan melalui Pasal 77 KUHAP mengenai Praperadilan.
“Jadi sudah menjadi kewenangan Pengadilan bukan kewenangan Kepolisian lagi setelah Kepolisian memberikan ketetapan baik dijadikan tersangka atau penghentian kasus,” tegas Alvin melihat kekacauan kinerja Polri.
Mantan Kakanwil Hukum dan HAM, Advokat Leo Detri, SH, MH menambahkan, kepastian hukum adalah salah satu prinsip utama dimana proses penyidikan lah menjadi gerbang awal Due Process of Law. Jadi sepantasnya Polri tidak sewenang-wenang dalam menentukan status hukum seseorang.
“Sekali ditentukan maka Polri harusnya bisa mendukung analisa mereka. Bukan malah terombang-ambing dan takut setelah di garis akhir. Wibawa Polri kemana jika begitu,” sindirnya.
Leo juga minta agar Kepala Negara Presiden Jokowi secara serius mengevaluasi ulang para petinggi Polri karena belakangan masyarakat banyak kecewa dengan penurunan integritas Polri selain masalah AKBP Brotoseno juga mandeknya kasus-kasus pidana keuangan yang rentan jadi permainan oknum Kepolisian.
“Apalagi sekarang ada tersangka yang secara gamblang bilang bahwa hukum di Indonesia dapat dikondisikan, status tersangka hal sepele dan bisa dihentikan melalui gelar perkara. Terlihat bagaimana Jenderal-jenderal polisi seakan sangat mudah diatur dan dikondisikan oleh tersangka. Jangan sampai masyarakat beranggapan bahwa Polri adalah kriminal beseragam dan mendukung suap dan gratifikasi,” imbuhnya.
Jaga kepercayaan dan hati masyarakat. Baiknya Karowasidik Brigjen Iwan Kurniawan, jangan penuhi permintaan gelar perkara, mengingat tersangka punya alat Prapid di Pengadilan untuk menguji status tersangkanya, sehingga tidak timbul kesan Polri tidak kredibel.
“Kepastian hukum adalah standar dan tolak ukur dari kemajuan ekonomi suatu bangsa, perusahaan asing tidak akan mau menanamkan modal jika kepastian hukum tidak terjamin,” pungkas mantan pejabat negara, Kakanwil Hukum dan HAM ini. (Sofyan)