BERITA JAKARTA – Kegamangan aparat penegak hukum menjadi buram kalau sudah berhadapan langsung dengan kekuatan politik dan menjadi ambigu. Kalau salah langkah, jadi korban politik. Justru kemungkinan oknum ikut turut berselancar didalamnya mana tahu nanti jika berkuasa dapat rekomendasi politik.
“Jualan KAMI dengan memakai diksi bangkitnya komunis dengan dibungkus kedok jubah agama bagian dari setrategi pemasaran supaya jualan laku diterima rakyat, dalam rangka mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat,” pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen kepada Matafakta.com, Kamis (1/10/2020).
Dikatakan Silaen, aparat penegak hukum jangan sampai terbelah atau lalai untuk menangkap esensi yang sedang dibangun oleh Ormas KAMI. Aparat penegak hukum harus bertindak sesuai koridor hukum yang ada. Aparat jangan bertindak diluar aturan hukum yang berlaku, pastikan hukum harus jadi panglima. Hukum tidak boleh diskriminatif terhadap semua warga negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Aparat penegak hukum juga jangan melakukan pembiaran karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan sosial politik diakar rumput. Politik adu domba harus ditindak, jangan sampai karena ingin berkuasa lalu membenturkan kehidupan sosial hingga terbelah berkeping- keping. Kehidupan rakyat akan sama saja, siapapun yang akan berkuasa berikutnya,” jelas Silaen.
Politik devide et impera sesungguhnya tak bisa lagi dipakai untuk merebut kekuasaan politik, namun pada kenyataannya demi meraih kekuasaan politik, semua cara dihalalkan. Inilah yang merusak tatanan sosial ditengah masyarakat kelas bawah. Karena kelas bawah tak sepenuhnya memahami pertarungan politik. Karena politik ditingkat bawah sanak famili bisa bermusuhan bahkan sampai berkelahi.
“Terkait issue komunis bangkit, Silaen sudah pernah usul agar yang menangkap dan menayangkan live interogasi pelaku komunis bangkit itu. Ini harus usut tuntas- tas, agar selesai sudah issue soal PKI, komunis yang menghambat bangsa ini maju dan bersatu,” beber Silaen.
Tiap pergantian kepemimpinan di negeri ini selalu membawa diksi PKI dan komunis bangkit dan lain-lain, ini selalu dipolitisir menjadi dagangan untuk ‘jualan’ ditengah masyarakat. Rakyat selalu dicekoki informasi yang menakutkan orang, tragedi G 30 S PKI itu bagian dari sejarah kelam bangsa ini. Simpang- siur soal kebenaran sejarah selalu dijadikan debat kusir tanpa rekonsiliasi kebenaran.
“Masing- masing elite politik, tokoh masyarakat dan akademisi selalu beda sikap, pandangan didalam memaknai kebenaran sejarah. Seolah-olah sejarah bangsa ini banyak kelirunya. Pertanyaannya apa benar PKI itu masih ada atau hanya halusinasi politik saja. Karena kalau diksi politik oplosan terus dibangun oleh kelompok tertentu, maka itu sama saja miskin ide dan gagasan untuk memakmurkan negeri ini,” ulasnya.
“Ingin berkuasa tapi jualannya memakai diksi politik komunis dan jubah agama, apa tak ada yang lain yang laku dijual, sehingga program kandidat calon pemimpin bisanya cuma menjual itu-itu saja. Hal ini memang tak dapat dipungkiri bahwa rakyat belum sepenuhnya melek politik. Jadi ini salah siapa?,” sambung Silaen mengkritik.
Ditambahkan Silaen, ini persoalan mendasar yang masih melilit perjalanan bangsa ini. Rakyat hanya dijadikan kayu bakar politik demi memperoleh kedudukan atau jabatan dan kekuasaan politik. Kebodohan rakyat seperti sengaja dipelihara, itulah cara untuk mendapatkan dukungan atau fanatisme buta.
“Pemimpin atau elite penguasa turut menyuburkan kondisi ini tetap ada. Elite penguasa, elite politik berpesta di atas ketidak-tahuan masyarakat. Rakyat dibawah berkelahi benar, tapi elite tersenyum dan masih bisa ketemu ngopi-ngopi bareng tapi rakyat bawah, sungguh- sungguh bermusuhan dalam membela jualan elite politik dan penguasa politik,” pungkasnya. (Indra)