BERITA JAKARTA – Soal adanya issue atau tepatnya rencana Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle kabinetnya itu menjadi bagian hak prerogatif Presiden selama dia masih menjabat sebagai Presiden.
“Yang tidak boleh Presiden lakukan ialah memaksa, ketika seorang yang diinginkan Presiden untuk membantunya lalu tak bersedia, maka tak boleh ada pemaksaan,” terang Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F Silaen, Kamis (29/12/2022) di Jakarta.
Sebaliknya yang terjadi adalah banyak orang yang berlomba menyodorkan dirinya atau orang yang dianggap mumpuni menjadi pembantu Presiden, baik dengan lobi-lobi politik kiri-kanan untuk berusaha masuk pilihan sebagai Anggota Kabinet Pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Itu itu tidak masalah, siapa tahu cocok dan berjodoh dengan keinginan Presiden Jokowi,” canda Silaen.
Dikatakan Silaen, adanya kritik dan gunjingan beberapa elite partai politik tertentu dan juga pengamat yang menyoroti langkah politik Presiden Jokowi untuk mengganti pembantunya, maka itu sah secara aturan administrasi Negara.
“Sebab yang dilakukan Jokowi tentunya sudah melalui berbagai pertimbangan dan diskusi yang mendalam, tentang langkah politik yang diambilnya,” ungkap Aktivis Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) itu.
Keputusan politik Presiden Jokowi untuk me-reshuffle kabinetnya tentu saja punya indikator yang tidak perlu disampaikan ke publik agar tidak menimbulkan fitnah dan gonjang-ganjing. Sebab sesungguhnya urusan kabinet itu menjadi domainnya yang diatur dalam konstitusi.
Jadi, sambung Silaen, tak perlu diributkan secara berlebihan oleh kalangan umum apalagi partai politik diluar Pemerintah. Sebab keberhasilan program pembangunan Jokowi-Ma’ruf pasti jadi pertimbangan utama.
“Jangan sampai ada ‘brutus’ menggerogoti kepemimpinan dan jalannya pemerintahan yang masih tersisa ini,” jelas alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.
“Yang paling tahu persisnya, seperti apa kebijakan politik Pemerintah saat ini tentulah Jokowi- Ma’ruf dan ring setengahnya. Penilaian kinerja tentu saja bisa saja berbeda kontras dengan kepentingan politik yang sedang terjadi diantara para pihak yang terkait,” tutur Silaen.
Setuju tidak setuju dengan keputusan politik Presiden Jokowi-Ma’ruf maka harus diterima sebagai bagian dari konsekuensi perbedaan yang timbul akibat dari sebuah pilihan politik dan juga permainan politik diantara koalisi parpol pendukung pemerintah saat ini.
Kalau sudah tidak sejalan, tambah Silaen, maka sebaiknya memang berpisah dengan baik-baik agar bisa saling koreksi kalau sudah diluar kabinet dan kalau masih didalam itu namanya politik menggunting dalam lipatan.
“Sebab tak elok kalau masih didalam kabinet memberikan diksi politik yang tidak mendukung pemerintahan Jokowi Ma’ruf. Selanjutnya mari sama-sama menyukseskan Pemilu serentak 2024 nanti,” pungkasnya. (Sofyan)