BERITA JAKARTA – Jelang pemilu serentak 2024 yang kian semakin mendekat, tak pelak membuat situasi semakin memanas akibat pernyataan pernyataan oknum pejabat Negara atau Pemerintah yang membuat gaduh ditengah masyarakat Indonesia.
Kebebasan berpendapat seringkali disalah artikan oleh pejabat publik atau Pemerintah. Kurangnya etika profesi dan tanggungjawab moral pejabat negara, membuat banyak orang ikut- ikutan memperburuk keadaan situasi bernegara.
“Inilah yang membuat negara seperti dalam situasi gonjang- ganjing,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F Silaen, Jumat (16/12/2022) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan Silaen, etika profesi dan tanggungjawab moral pejabat negara, seperti seakan semau gue, apakah ini semacam pesanan atau berdiri sendiri? ini kerap dipertontonkan oleh oknum pejabat negara yang terkesan arogan aji mumpung masih berkuasa atau apa gitu?.
“Sepantasnya pejabat publik atau negara tak sembarang berucap atau berujar yang menyinggung perasaan publik, apakah seburuk itu sikap dan perilaku para pejabat negara saat ini? Acap kali pernyataan oknum pejabat membuat situasi nasional gaduh,” sindir mantan fungsionaris DPP KNPI itu.
Sebab, sambung Silaen, apabila sebuah bangsa sudah kehilangan etika profesi dan tanggungjawab moralnya didepan publik, lantas siapa lagi yang rakyat mau teladani saat ini?.
“Era reformasi yang di impikan banyak orang sewaktu dibawah kekuasaan era orde baru lalu ditumbangkan, dengan satu alasan agar hidup akan menjadi lebih baik, ternyata tidak menjadi kenyataan kecuali makin aneh-aneh saja perilaku pejabat negara. Apakah mungkin negara ini sudah menuju gerbang kehancuran?,” kritik alumni Lemhanas Pemuda 2009 ini.
Ada banyak contoh perilaku dan kebiasaan pejabat negara atau publik mempertontonkan “kepongahan” atas jabatan dan kekuasaan yang mereka emban, tidak ada rasa bersalah atas apapun yang mereka lakukan dan sampaikan didepan umum, seolah-olah merekalah segala-galanya yang lain seperti “ngontrak.
“Sekarang situasi dunia sedang tidak baik, ditambah lagi posisi ekonomi sedang lesu-lesunya (menuju resesi hebat). Rakyat merasakan apa- apa serba mahal beda dengan pejabat negara yang dihidupi oleh uang rakyat, sementara rakyat kecil hidupnya “ngos-ngosan” akibat daya beli masyarakat yang turun drastis. Hasil pertanian rakyat tiba masa panen harganya hancur lebur,” “ungkap mantan tenaga ahli Fraksi DPR RI 2004- 2009 itu.
Seharusnya, lanjut Silaen, pejabat Negara atau publik punya sense of empati, dengan cara menjaga perasaan publik yang notabene sedang goncang, ditambah lagi persoalan ekonomi rakyat yang semakin tertekan akibat dihantam badai impor ketika masa panen raya pertani tiba.
“Tidak ada aturan baku (tertulis) yang dilanggar oleh oknum pejabat Negara atau Pemerintah yang menyatakan pendapatnya dimuka umum. Persoalannya adalah mereka pejabat publik yang hidupnya ditanggung oleh keuangan dari pajak rakyat Indonesia. Tapi oknum pejabat Negara atau Pemerintah seolah mereka tidak jadi bagian dari penderitaan rakyat,” tegas Silaen.
Seyogianya, mereka elite atau pejabat peka dan peduli terhadap penghidupan rakyat Indonesia yang Senin, Kamis. Beda dengan pejabat Negara atau pejabat publik yang semuanya ditanggung oleh anggaran keuangan Negara,” ungkap Silaen.
Kalau saja, tambahnya, pejabat Negara atau Pemerintah hidupnya ngos-ngosan yang Senin, Kamis pasti mereka tidak sembarang bicara hal-hal yang tidak menyentuh soal hidup rakyat banyak.
“Pejabat Negara atau Pemerintah harusnya punya etika dan moral yang berintegritas tinggi agar selalu menjaga sikap, perilaku dan tutur kata yang lebih santun ditengah gejolak gelapnya ekonomi dunia akibat resesi global,” pungkas Silaen. (Mul)