BERITA JAKARTA – Carut-marut pengadaan peralatan Intelijen pada Direktorat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Tahun Anggaran (TA) 2024 sebesar Rp950 miliar di Kejaksaan Agung perlahan mulai menemui titik terang.
Semisal, tidak diketahuinya lokasi penempatan peralatan satuan kerja yang akan mempergunakan alat tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang tidak ahli di bidangnya hingga tiga perusahaan pemenang tender diduga tidak memenuhi persyaratan minimal baik secara kuantitas maupun kuantitas.
Menurut pandangan mantan Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, carut marutnya pengadaan barang dan jasa di Kejaksaan Agung mengisyaratkan proses lelang hingga pelaksanaan sarat aroma KKN. Terlihat dari tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari oknum petinggi di Korps Adhyaksa tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pertama, pimpro atau yang sekarang disebut PPK haruslah orang yang pakar mengenai proyek yang akan ditangani,” ucap Abdullah, Selasa (17/12/2024).
Misalnya tutur Abdullah, pembangunan suatu Gedung maka PPK-nya haruslah seorang insinyur sipil. Jika proyek mengenai Informasi Teknologi maka PPK-nya juga seorang sarjana IT, minimal diploma IT dan berpengalaman secara operasional.
Perlu diketahui, PPK dalam proyek pengamanan kantor di ruang publik senilai Rp250 miliar yang ada di Badiklat Kejaksaan RI, merupakan pegawai keuangan. Ada dugaan bahwa PPK tersebut tidak mengetahui seluk beluk tentang alat yang akan dipesan.
Selain itu ia juga menyoroti ihwal harga perkiraan sendiri (HPS) pada proyek di Kejagung. Sebab menurutnya seorang PPK harus mempunyai HPS terhadap proyek yang akan dilelang.
“Kedua, dalam penentuan pemenang tender, PPK sebaiknya memilih perusahaan yang harga penawarannya sedikit lebih tinggi atau sedikit lebih rendah dari HPS,” urai dia.
Sebab, jika yang dimenangkan harganya terlalu tinggi dari HPS maka Negara rugi. Namun jika harga yang terlalu rendah dari HPS maka dikhawatirkan kualitas proyek tersebut rendah. Maknanya, Negara juga dirugikan.
“Kemudian semua perusahaan yang mengajukan tender harus memenuhi persyaratan minimal baik secara kualitas maupun kuantitas,” ulasnya.
Namun faktanya tiga pemenang tender yakni PT. Permata Sigma Perkara (PSP), PT. Anja Bangun Selaras (ABS) dan PT. Surya Muara Emas (SME), diduga bukan spesilisasi di bidang perkakas intai, melainkan menjual segala rupa peralatan yang dibutuhkan pemesan proyek.
“Olehnya, untuk menetapkan berlakunya penyimpangan tidak perlu ada audit baik dari BPKP maupun BPK,” tandas Abdullah.
Sementara itu, Pengamat Hukum Edward Tampubolon pada kesempatan berbeda juga menyayangkan soal proses penunjukan rekanan atau pihak ketiga sebagai pelaksana pengadaan alat Intelijen di Koprs Adhyaksa, karena asal tunjuk atau asal main menangkan saja.
“Hal itu terlihat jelas bahwa perusahaan pengadaan bukanlah yang bergerak dan juga punya spesifikasi khusus dalam hal perangkat Intelijen,” ujarnya.
Jika hal demikian, tambah Edward, bisa terjadi dan juga ada dugaan KKN dengan oknum penentu pemenang tender yang merupakan Aparat Penegak Hukum (APH), karena merupakan Jaksa. Jadi untuk apalagi pimpinan Kejaksaan berkoar-koar berantas korupsi.
“Lah kalau serius makanya ada tidaknya berita maupun permintaan dari pihak lain, sudah semestinya pengadaan alat Intelijen itu ditelisik. Jadi jangan hanya tahu bahwa pekarangan orang kotor, tetapi pekarangan kita kotor tidak dibersihkan,” pungkasnya. (Sofyan)