BERITA JAKARTA – Wacana menuntut mati pelaku korupsi alias koruptor dengan hukuman mati mendapat dukungan dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI meminta penerapan itu dilakukan pada kasus Asabri yang menimbulkan kerugian besar pada masyarakat.
“Jangan hanya lips service. Harus segera terapkan pada proses tuntutan berikutnya. Paling dekat kasus PT. Asabri yang saat ini sedang sidang dan sebentar lagi akan agenda tuntutan,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menanggapi pernyataan Jaksa Agung terkait penerapan hukuman mati, Senin (1/11/2021) di Jakarta.
Boyamin mengaku, dirinya mendukung rencana Jaksa Agung tersebut untuk membuat jera para perampok uang rakyat. Menurutnya, ada dua pihak yang bisa dijerat dengan hukuman mati dalam perkara korupsi Asabri yakni, terdakwa Benny Tjokro dan Heru Hidayat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setidaknya ada dua orang yang memenuhi syarat untuk dituntut hukuman mati karena ada pemberatan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan korupsi yaitu adanya pengulangan, karena sebelumnya pernah melakukan korupsi di Jiwasraya dan kemudian terlibat di Asabri,” ungkap Boyamin.
Dikatakan Boyamin, hukuman mati bisa dikenakan kepada mereka yang telah berulang kali terlibat kasus korupsi. Hukuman mati juga bisa dikenakan kepada mereka yang korupsi dalam keadaan bencana.
“Soal nanti Hakim mengabulkan atau tidak, itu soal lain. Setidaknya upaya Jaksa menuntut hukuman berat kepada koruptor sudah dilakukan,” ujarnya.
Masih kata Boyamin, dalam perkara Jiwasraya, baik Heru Hidayat dan Benny Tjokro sama-sama dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Akibat perbuatannya yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun.
Atas perbuatannya, Heru Hidayat diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp10.728.783.375.000. Sementara Benny Tjokro sebesar Rp6.078.500.000.000.
Sama halnya dalam perkara korupsi di Asabri. Keduanya juga diduga pihak yang paling berperan dalam penyelewengan dana pensiun milik tentara itu. Taksiran kerugian negaranya mencapai Rp22 triliun lebih.
Karena itu guna pengembalian kerugian negara, pihak Kejagung menyita sejumlah aset milik terdakwa, termasuk terdakwa Benny Tjokrosaputra dan Heru Hidayat. Hanya saja penyitaan oleh Kejagung atas aset Benny dan konco konconya, menurut lawyernya telah melebihi tanggungan.
Sebaliknya, lanjut Boyamin dengan terdakwa Heru Hidayat yang sampai saat ini jauh dari memadai, bahkan terkesan hanya pasang badan. Padahal, jumlah kerugian yang diakibatkan Heru itu jauh lebih besar dibanding terdakwa yang lain.
“Apalagi, diduga kuat terdakwa ini melindungi mitranya untuk selamatkan sejumlah aset miliknya. Itulah sebabnya, sejumlah mitra Heru seperti AP, mantan Dirut PT. Inti Agro Resources Tbk yang juga menjabat Komisaris PT. Trada Alam Minera (TRAM) dan PT. Gunung Bara Utama (GBU), sampai saat ini belum pernah diperiksa penyidik Kejagung,” tandasnya.
Terpisah, pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengungkap, berdasar catatan transaksi di Bursa Efek Indonesia, AP mampu melakukan penjualan langsung (menjual dengan nama sendiri) saham FIRE miliknya ke Asabri dan dibeli oleh Asabri melalui Panin Securitas dalam sehari (Senin 26 Juli 2018) sebanyak 40.920.400 lembar saham senilai Rp231 miliar dengan harga Rp5.650 per lembar atau 10 kali lipat harga IPO saham tersebut.
Bahkan sebulan sebelumnya, (Selasa 29 Juni 2018), AP ternyata juga telah menjual saham FIRE miliknya yang juga hanya dalam tempo satu hari kepada Aurora Sharia Equity yang di kelola PT. Aurora Asset Management untuk Asabri, sebanyak 10.978.000 lembar saham senilai Rp54.978.000.000 dengan harga Rp5.100 per lembar yang juga 10 kali lipat dari harga IPO.
“Itu (mitra-red) semestinya juga harus dibongkar oleh Jaksa penyidik Kejaksaan. Jangan berhenti pada para terdakwa saja, tapi juga mitra-mitranya yang turut bekerjasama. Sebab ada jalan masuknya (penyidikan-red) dari keterangan para terdakwa,” pungkas pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. (Sofyan)