BERITA YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia tidak menyurutkan langkah para elite politik untuk terus berkompetisi dalam upaya menarik atensi publik jelang kontestasi politik 2024.
Hingga saat ini diketahui sejumlah elite politik telah menggunakan berbagai cara untuk meraih simpati public diantaranya dengan menggunakan pemasaran politik dengan baliho dan billboard di sejumlah wilayah Indonesia.
Elite politik tersebut diantaranya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDI Perjuangan) Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar hingga Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Agus Harimurti Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Institute for Digital Democracy (IDD) Yogyakarta, Bambang Arianto menilai bahwa langkah para elite politik yang mendongkrak popularitas di tengah pandemi Covid-19 tentulah kurang tepat.
“Apalagi hingga saat ini masyarakat tengah berjuang keras menghadapi pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi yang berkepanjangan,” ungkapnya kepada Matafakta.com, Rabu (11/8/2021).
Menurut Bambang, langkah para elite politik mendongrak popularitas ditengah pandemi Covid-19 sebagai bukti bahwa para elite politik tersebut sangat minim empati kepada rakyat.
Padahal, sambung Bambang, elite politik sejatinya harus selalu berempati terhadap persoalan riil rakyat secara kekinian.
“Artinya, ketika terjadi pandemi Covid-19 sejatinya elite politik harus lebih giat memberikan bantuan kepada rakyat, bukan justru sebaliknya dengan sibuk mencari popularitas semata,” sindirnya.
Selain itu, Bambang melihat ada semacam ketidakpercayaan diri dari para elite politik terhadap elektabilitas yang dimiliki.
“Artinya, ada semacam ketakutan para elite politik tidak dikenal dan tidak dipilih oleh publik, sehingga kemudian terburu-buru harus memamerkan wajahnya melalui berbagai baliho dan papan nama,” tuturnya.
Padahal saat ini, lanjut Bambang, eranya media sosial yang artinya upaya mendongkrak popularitas melalui baliho sudah tidak lagi memberikan kontribusi signifikan. Sebab kampanye politik luar jaringan seperti baliho, papan nama atau billboard sudah tidak menarik sama sekali dan telah berganti ke ruang media sosial.
“Justru kalau tujuanya untuk mendongkrak popularitas lebih signifikan memperkuat konten melalui peran influencer dan buzzer di media sosial,” imbuhnya.
Intinya saat ini, tambah Bambang, masyarakat sudah sangat cerdas. Jangan sampai pemasangan baliho justru menjadi bumerang bagi para elite politik.
“Artinya, bukan membuat masyarakat bersimpati, tapi justru sebaliknya membuat masyarakat semakin jenggah dengan pola-pola lama dalam mendongkrak popularitas,” pungkasnya”. (Nining)