BERITA JAKARTA – Raja Sapta Oktohari (RSO) selaku terlapor Pidana di Polda Metro Jaya disinyalir mengunakan modus bemper atau kambing hitam untuk dipersalahkan atas pidana penghimpunan dana masyarakat tanpa ijin Bank Indonesia (BI).
RSO dilaporkan di Unit V Fiskal, Moneter dan Devisa (Fismondev) Polda Metro Jaya dengan laporan polisi No. 2228/IV/YAN2.5/2020 tanggal 9 April 2020. Namun, ternyata Hamdriyanto dilaporkan Mahkota (OSO) di Unit IV Fismondev Polda Metro Jaya.
Kepada LQ Indonesia Law Firm, Hamdriyanto mengungkapkan, bahwa dirinya diminta menandatangani surat pertanggungjawaban terhadap PT. Mahkota Properti Indo Permata (MPIP) seolah-olah dirinya yang memalsukan surat dan mengambil uang Perseroan untuk menghindari pidana penggelapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Padahal, diketahui pidana yang dikenakan terhadap Raja Sapta Oktohari atau RSO selain Pasal 372 dan 378 KUHP adalah Pasal 46 Undang-Undang Perbankan yaitu tentang menghimpun dana masyarakat tanpa ijin BI,” jelas Kabid Humas LQ Indonesia Law Firm, Sugi kepada awak media, Jumat (27/5/2022).
Diungkapkan Sugi, Hamdriyanto baru dirubah statusnya menjadi Direktur Utama (Dirut) PT. Mahkota setelah gagal bayar terjadi. Sehingga selama belum gagal bayar dan terjadi penghimpunan dana masyarakat Dirut Mahkota masih dipegang Raja Sapta Oktohari. Disinilah RSO, seharusnya mengurus ijin BI.
“Tidak mungkin PT. MPIP atau Mahkota bisa diberikan ijin BI, karena akta pendirian PT adalah untuk usaha Properti bukan usaha bidang keuangan, sehingga tidak mungkin Otoritas Jasa Keuangan atau OJK memberikan ijin keuangan menghimpun dana,” tegasnya.
“Bisa dipastikan Raja Sapta Oktohari seharusnya tahu perusahaan Properti tapi dengan sengaja menghimpun dana masyarakat. Apalagi jelas terdapat dalam bukti video RSO mengajak para peserta untuk taruh uang di Mahkota,” sambungnya.
Lebih lanjut, Sugi menekankan, penyidik jangan berlagak bodoh dan menerima keterangan pengakuan Hamdriyanto, tapi wajib melihat fakta, ketika kejadian itu Hamdriyanto bukan Direksi di PT Mahkota, sehingga tidak mungkin bisa mengambil dana.
“Jelas dalam UU No 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Direktur Utama bertanggung jawab penuh atas keuangan dan operasional Perseroan. Masyarakat umum aja tahu, masa penyidik tidak tahu. Modus bemper ini sudah sering digunakan,” sindirnya mengingatkan.
Selain itu, lanjut Sugi, fakta adanya Hamdriyanto sebagai bemper, dapat dilihat pula ketika Kresna Sekuritas anjlok Hamdiyanto dijadikan Direktur Utama PT. Pusaka oleh Grup Kresna.
“Jadi satu orang ini dijadikan Direksi beberapa perusahaan gagal bayar sebagai bemper, jika terkena pidana maka dia akan masuk penjara mengantikan aktor intektual atau pelaku sesungguhnya sebagai bemper,” ulasnya.
Polisi harusnya pandai dan mampu mengungkap fakta dan melihat dari data dan informasi yang ada, jangan pura-pura bego dan menerima bulet-bulet pengakuan saksi yang sudah di rekayasa oleh aktor intelektual.
Hamdriyanto Selalu Dipasang di Perusahaan Gagal Bayar
LQ Indonesia Law Firm mengungkap memiliki bukti-bukti konkret mengenai dugaan ini. Namun, secara logika saja, tidak mungkin seorang Hamdriyanto menjadi Direktur Utama banyak PT berbeda dan semua gagal bayar dan setelahnya baru diganti Hamdriyanto.
“Penyidik seharusnya tahu yang bertanggung jawab adalah Direksi ketika pidana terjadi, bukan setelah pidana terjadi. Mahkota seharusnya mengurus ijin keuangan sebelum menghimpun dana masyarakat, bukan malah ganti Dirut untuk lempar tanggung jawab.
Tindakan menganti Dirut ketika Perseroan gagal bayar menunjukkan sikap pengecut dan ketidakmampuan Raja Sapta Oktohari.
“Jika mengurus sebuah perseroan saja gagal sehingga merugikan kurang lebih 6000 korban masyarakat dengan kerugian kurang lebih Rp6.7 triliun, lalu apakah sudah diaudit kemana larinya uang Pemerintah yang masuk dalam Komite Olimpiade Nasional atau NOC yang digawangi RSO?,” tuturnya.
Sebaiknya, kata Sugi, diganti saja pejabat yang seperti itu, karena masih banyak pejabat yang lebih baik di Indonesia, kenapa Pemerintah tetap mempertahankan RSO putra dari Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Oedang (OSO).
“Harap masyarakat waspada karena di Gatra pun halaman depan tertera, Skema Ponzi Raja Okto dengan muka Raja Sapta Oktohari. Sebaiknya Raja Sapta Oktohari jika gentlemen, mundur dari KOI dan hadapi Proses hukum,” tegas Sugi.
Para masyarakat korban Mahkota yang merasa dirugikan oleh Raja Sapta Oktohari (RSO) bisa segera merapat untuk membuat laporan polisi kembali, hubungi LQ di 0817-489-0999 untuk keterangan lebih lanjut.
“Diketahui sudah ada 3 Laporan Polisi di Polda Metro Jaya terhadap Raja Sapta Oktohari atau OSO Sekuritas,” pungkas Sugi. (Sofyan)