BERITA JAKARTA – Suatu hal yang biasa terjadi, jika terdapat sekelompok orang yang selalu punya pemikiran bertentangan dengan Pemerintah. Segala pandangan dan argumentasi disampaikan demi membuat framing, “Pemerintah telah salah dalam mengambil kebijakan”. Hal itu, diungkapkan, Politisi Senior, Dr. M. Kapitra Ampera, SH, MH, menyikapi gelombang aksi penolakan RUU Cipta Kerja atau Ominus Law.
Dikatakan Kapitra, pengesahan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dianggap sebagai suatu kezhaliman Pemerintah dan DPR terhadap buruh atau tenaga kerja. Beberapa kelompok yang punya penilaian berbeda dengan Pemerintah, gencar dalam mengkritisi dan menolak pengesahan Undang-Undang Omnibus Law ini, bahkan turut aktif dalam menggiring masyarakat, untuk melakukan unjuk rasa atau demonstrasi ditengah pandemi Covid-19 melanda negeri.
“Demonstrasi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja masih terus terjadi. Muncul kembali berbagai himbauan dari sekelompok orang untuk ikut dalam demonstrasi yang diberi nama AKSI 1310 untuk menolak UU Cipta Kerja dan penolakan-penolakan lainnya di depan Istana Negara RI. Masyarakat bahkan pelajar dijadikan alat untuk kepentingan politik agar menjatuhkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap pemegang kekuasaan,” kata Kapitra dalam wawancara khusus dengan Matafakta.com, Senin (12/10/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anehnya, sambung Kapitra, aksi yang akan dilakukan pada selasa, 13 Oktober 2020 tersebut tidak hanya menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja, namun juga berkaitan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang telah ditunda pembahasannya oleh Pemerintah. Hal ini, diduga sengaja kembali diangkat dan dibahas untuk mengingatkan masyarakat dengan hoax lama dan membuat ricuh, dengan tujuan menjatuhkan pemerintahan yang sah.
“RUU HIP tidaklah relevan dan urgen untuk kembali dijadikan alasan demonstrasi saat ini, begitupun terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan, terbuka peluang untuk membantah, merevisi dan mengubah Undang-Undang secara Konstitusional melalui Uji Materil ke Mahkamah Konstirusi,” tegas Kapitra.
Demonstrasi, lanjut Kapitra, bukanlah pilihan yang bijak dalam mengemukakan aspirasi karena berpotensi dilakukan secara anarkis, menimbulkan korban dan merusak berbagai fasilitas umum, namun tidak akan tertuju terhadap tercapainya keinginan peserta aksi. Namun, jika benar dugaan adanya agenda tersembunyi Aksi untuk menjatuhkan Pemerintah dengan cara-cara yang tidak konstitusional, maka hal tersebut merupakan tindakan Makar sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan 107 KUHP.
“Perbuatan unjuk rasa sebagai permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) untuk mendekati delik yang dituju (voluntas reputabitur pro facto) dengan cara inkonstitusional dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah (omwenteling). Apalagi, jika seruan-seruan ketidakpercayaan dan ajakan menjatuhkan Pemerintah dilakukan oleh orang-orang yang selama ini pernah melakukan perbuatan yang diduga sebagai perbuatan makar, namun masih berstatus penahanan yang ditangguhkan,” ungkapnya.
“Artinya, belum dihentikan penyidikannya, jika kembali mengulangi perbuatannya maka penangguhan penahanannya dapat dicabut dan dapat dilakukan penahanan lanjutan terhadap yang bersangkutan,” tambah Kapitra.
Masih kata Kapitra, bahwa benar, negara menjamin hak-hak rakyatnya untuk mengemukakan pendapat didepan umum. Namun dalam keadaan pandemi saat ini, ada hal-hal yang lebih penting harus dijaga bersama seperti menghindari terjadinya penyebaran virus Covid-19. Demonstrasi yang akan mengumpulkan banyak massa sangat berpotensi menimbulkan cluster baru penyebaran Virus Covid-19.
“Di masa pandemi saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus Populi Suprema Lef Esto). Disamping itu, Instruksi Presiden no 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendaliam Corona Virus Disease 2019, juga mewajibkan masyarakat mematuhi protokol kesehatan yng diantaranta dengan melakukan Pembatasan Interaksi Fisik (Physical Distancing) dan terdapat sanksi bagi pelanggarnya,” ingat Kapitra.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, juga mengatur tentang pencegahan penyebaran penyakit menular dengan membatasi kegiatan penduduk diluar dan berinteraksi diluar. Dengan demikian melakukan unjuk rasa atau demonstrasi di masa pandemi ini telah bertentangan dengan Instruksi Presiden dan Undang-Undang.
“Di sisi lain, penanganan terhadap menyebaran Covid-19 menjadi hal krusial yang juga dituntut oleh kolompok-kelompok tertentu penanganannya. Namun, dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang menambah potensi penyebaran virus, maka penanganan dan penanggulangan Pandemi Covid-19 akan sulit untuk dicapai,” pungkasnya. (Indra)