BERITA JAKARTA – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menduga Pemerintah bakal merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 50 tahun 2020, tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-Commerce).
Dalam keterangan tertulisnya, MAKI menyebut soal Permendag saat ini sedang diusulkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk diubah dalam bentuk larangan importasi barang pemesanan sistem online dibawah USD 100.
“Perlu dipahami bahwa pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) ini adalah pendapatan umum (revenue generator) bagi Negara dari sisi pajak. Maka apabila pelarangan ini dilakukan potensi pendapatan Negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang (1,5 hingga 2,5 triliun ),” kata Boyamin, Jumat (18/8/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakannya, tanpa proses resmi seperti crossborder barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan dikendalikan alias penyelundupan.
“Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yang tinggi hingga USD 10 perkilogram dari awal pengangkufan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile),” ujarnya.
Menurut Boyamin, biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri.
“Pedagang dari luar Negeri saat ini cenderung berkerjasama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea freight) dan setiba barang di Indonesia baru dijual di platform lokal dengan harga murah sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM,” terang dia.
Boyamin mengatakan, pada waktu terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020 oleh Kemenkop sistem crossborder dan diantara 18 item tersebut termasuk busana muslim. Faktanya di e-Commerce lokal barang yang sama masih dijual sampai saat ini dan tidak dilarang, harganya jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder.
“Artinya tanpa crossborder barang itu tetap di impor karena tingginya permintaan, bahkan saat ini harga barang ex impor itu bisa makin murah karena dikirim via laut (sea-freight) dan tentunya menjadi makin laris,” singgungnya.
Dan MAKI pun mengganggap Kementerian Koperasi dan UKM dapat dianggap tergesa-gesa menyimpulkan crossborder merugikan Negara dan UMKM. Padahal bisnis ini adalah penopang utama sektor logistik, airlines, pergudangan, kurir dan trucking.
“Bahkan disaat pandemi maskapi nasional kita dapat terus beroperasi karena mengangkut cargo crossborder disaat larangan mengangkut penumpang berlaku, sektor e-commerce crossborder dan logistiknya juga telah berkontribusi besar pada pemulihan perekonomian negara berkat export crossborder UMKM ke 6 Negara ASEAN,” imbuh dia lagi.
Kementerian harus cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yang telah dijual lokal. Disinilah letak masalahnya yaitu presepsi crossborder adalah pembunuh UMKM padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama UMKM.
“Untuk kebaikan Negara dan mencegah kerugian Negara, MAKI meminta pembatalan rencana perubahan Permendag Nomor: 50 tahun 2020, tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik,” pungkasnya. (Sofyan)