BERITA JAKARTA – SIAGA 98 mencurigai ada upaya mengenyampingkan atau mengambil alih peran KPK dalam penindakan kekayaan yang tak wajar atau tidak sah (illicit enrichment) dalam RUU Perampasan Aset.
Salah satu aset yang dapat dirampas adalah kekayaan tak wajar pejabat publik, sebagaimana Pasal 2 ayat (1) huruf k draft Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan.
“Aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini,” terang Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin, Minggu (16/4/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, sambung Hasanuddin, tidak ada pengaturan khusus bahwa perampasan aset di dalam RUU tersebut diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Semestinya kewenangannya diberikan kepada KPK, sesuai UU Nomor: 28 Tahun 1999, tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) jo Pasal 69 UU KPK Nomor: 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor: 19 Tahun 2019, tentang perubahan kedua atas UU Nomor: 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelas Hasanuddin.
Dikatakan Hasanuddin, melalui Pasal 69 inilah KPK memiliki tugas menerima dan memeriksa Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Namun dalam hal terdapat harta kekayaan tak wajar penyelenggara negara, KPK harus menyelidiki dan membuktikan pidana asalnya, sehingga perampasan aset harus terbukti pidana asalnya.
“Sehingga KPK dipaksa menerapkan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor: 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Pidana Korupsi. Pidana tambahan, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut,” ulasnya.
Perampasan Aset Sebagai Bagian Dari Pemidanaan
Melalui Draft RUU Perampasan aset ini, KPK memiliki kewenangan mengajukan perampasan in rem sebagai bagian dari padanan pembuktian terbalik. Sebab itu, Draft RUU Perampasan aset dari tindak pidana korupsi atau penyelenggara yang memiliki harta tak wajar berdasarkan LHKPN sejatinya menjadi kewenangan KPK.
“Ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) aset tindak pidana adalah aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana atau sarana dalam melakukan tindak pidana Draft RUU Perampasan Aset,” jelasnya.
Sehingga, perampasan aset sebagaimana dimaksud Draft RUU Perampasan Aset tidak bersifat serta merta tanpa kausalitas sebab-akibat, landasan historis dan keterkaitan antar peraturan perundang-undangan, khususnya perampasan aset dari tindak pidana korupsi dan penyelenggara negara.
Kecurigaan Ini, Terindikasi Dari Dua Hal:
Pertama, tidak dimuatnya pasal khusus yang mengatur hal ini menjadi kewenangan KPK, dan, Kedua, tidak diikutsertakan dalam pembahasan dan penandatangan draft RUU, meskipun KPK melalui Jubirnya menyatakan bahwa keitidakikutsertaan KPK dengan pertimbangan draft ini kewenangan eksekutif, dan KPK adalah lembaga independen penegak hukum.
SIAGA 98 Memaknai Sebagai Sikap Protes KPK Dalam Bentuk Lain
Dengan pengaturan kewenangan diberikan kepada KPK, sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, maka ini menjadi malapetaka bagi penyelenggara negara, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, sebab kedeputian pencegahan KPK, dapat mengajukan perampasan harta kekayaan tak wajar (ellicit enrichment) penyelenggara negara kepada Pengadilan secara langsung. (Sofyan)