BERITA JAKARTA – Jaksa Agung Muda Pidana Korupsi (Jampidsus), Febrie Ardiansyah mengungkapkan adanya pergeseran paradigma penanganan tindak pidana korupsi yang awalnya represif menjadi preventif.
Hal tersebut disebabkan karena penegakan hukum tidak lagi menitikberatkan kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani dan pelaku yang dihukum. Namun lebih kepada upaya untuk menjamin satu wilayah bebas dari korupsi.
“Serta bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan dengan menggunakan metode follow the money guna memaksimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP dari hasil penyelamatan keuangan negara,” kata Febrie saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Hukum DPR RI, Rabu (23/3/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia menjelaskan, bahwa salah satu upaya yang telah dilakukan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) agar penanganan tindak pidana korupsi yang memiliki impact yang besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara.
“Selain keberhasilan dalam penanganan tindak pidana korupsi, saat ini kami juga masih mendalami perkara pelanggaran HAM berat Paniai yang hingga kini masih dalam proses pengumpulan alat bukti,” jelasnya.
Bentuk keseriusan Kejaksaan dalam menyelesaikan perkara HAM yaitu dengan Tim Penyidik Kasus Pelanggaran HAM yang berat Paniai yang masih terus bekerja dalam membuat terang peristiwa Paniai.
“Untuk itu, dalam menjalankan tugas, kami meminta semua pihak untuk dapat mendukung Kejaksaan dalam penegakan hukum yang berkualitas dan humanis,” ujar mantan Kajati DKI Jakarta ini.
Upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara yang dilakukan oleh bidang tindak pidana khusus adalah dengan mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilaksanakan melalui strategi.
“Yaitu pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi dengan tujuan bahwa pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi.
“Selain untuk memunculkan efek penjeraan tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara, karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda,” imbuhnya.
Lalu, penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tetapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara.
Pengoptimalan ini dipandang perlu karena penanganan perkara tindak pidana korupsi saat ini hanya menitikberatkan kepada pemulihan keuangan negara sedangkan di sisi lain kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
“Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara sering kali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” kata dia.
Selain itu katanya, penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi.
“Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” pungkasnya mengakhiri. (Sofyan)