BERITA JAKARTA – Pro dan kontra terkait video yang merekam para santri menutup telinga saat musik terdengar masih terus berlanjut. Sebelumnya diketahui sejumlah santri itu sedang mengantri untuk mengikuti vaksinasi Covid-19.
Pengamat media sosial Institute for Digital Democracy (IDD) Bambang Arianto, turut memberikan komentar, menurutnya pro dan kontra ini kian membuktikan budaya digital telah membuat seseorang menjadi generasi reaktif.
“Kita belum tahu duduk persoalanya, tapi kita sudah langsung memvonis. Padahal yang mengunggah video pun belum tentu tahu maksud dan tujuan, mengapa para santri harus menutup telinga ketika musik terdengar,” kata Bambang kepada Matafakta.com, Minggu (19/9/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, sambung Bambang, sebenarnya sangat wajar ketika seorang santri yang memang dituntut untuk memperbanyak hafalan kemudian harus menutup telinganya ketika ada suara lain yang menggangu. Apalagi dunia santri memang memiliki kultur yang berbeda dan tidak banyak diketahui oleh publik.
“Artinya, ini pilihan masing-masing. Jadi tidak usah lebay dan mudah menyebut seseorang dengan hal yang tidak pantas apalagi dengan sebutan radikal,” jelas Bambang menanggapi polemik santri tutup teliga ketika mendengar musik.
Menurut Bambang, fenomena pro dan kontra ini terjadi diakibatkan masyarakat kita masih gagap dalam menghadapi transformasi budaya dari yang konvensional menuju digital. Padahal, budaya digital tentu akan menciptakan sisi negatif juga seperti generasi yang berwatak reaktif.
“Sikap reaktif, akan membuat kita terdorong untuk cepat memvonis apa yang kita lihat tanpa kita mengetahui seluk beluk permasalahannya. Artinya, sikap reaktif ini akan membuat seseorang lebih cenderung mengedepankan emosi ketimbang rasionalitas,” ungkapnya.
Maka dari itu, lanjut Bambang, mengapa banyak video settingan atau prank yang kemudian banyak beredar luas dan juga viral.
Sebut saja, baru-baru ini ada video pasangan Gancet yang kemudian kita cepat mempercayai, padahal itukan konten prank atau settingan. Bahkan, banyak pula konten-konten yang memang dibuat untuk pengalihan isu atau istilahnya konten “umpan”.
“Jadi pesan saya kepada warganet Indonesia, ketika menerima konten media sosial cobalah bersabar untuk tidak cepat memvonis dan kedepankan langkah verifikasi,” pungkasnya. (Indra)