BERITA YOGYA – Praktisi budaya, Inayah Wahid menilai bukan hanya Otonomi Khusus (Otsus) secara ekonomi yang mampu menyelesaikan persoalan di Papua maupun Papua Barat, tapi juga aspek lainnya. Salah satunya, penghormatan budaya Papua.
“Otsus ini bukan hanya soal ekonomi, ada begitu banyak permasalahan lain. Seperti pengakuan identitas, penghormatan kebudayaan, sampai pada saatnya semuanya ini terjadi gap yang begitu besar,” kata Inayah dalam webinar ‘Pro & Kontra: Melihat Realita Perjalanan Otsus’ yang digelar Yogya Rumah Kita, Kamis (22/10/2020).
Menurut Inayah, apa yang terjadi di Papua selayaknya konflik keluarga dalam satu rumah, sehingga memerlukan pendekatan yang juga kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cara penyelesaian konflik secara kekeluargaan ini yang menurut Inayah dipakai ayahnya, Presiden ke-4 Republik Indonesia (RI), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
“Ini tuh semacam konflik keluarga, ‘Saya capek tinggal di rumah ini’, lalu ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan kepala rumah tetangga. Pendekatan anak dengan orangtua berbeda. Ketika berbeda pendekatan, maka akan dianggap musuh. Nah, pendekatan ini lah yang akhirnya dipakai Gus Dur. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur ini berlawanan dengan yang lainnya,” papar Inayah.
“Bagaimana Gus Dur akhirnya keluar dari rumah dan itu merupakan ekspresi kekecewaan, bukan sebagai musuh. Adanya personal touch, lalu adanya penguatan gerakan sipil. Mengundang langsung warga sipil, bertanya dan menggali informasi lainnya, untuk melakukan pendekatan warga Papua. Menurut Gus Dur, mendengarkan suara Papua itu dianggap sangat penting,” imbuh Inayah.
Sementara, menurut Sejarawan Hersumpana, Otsus merupakan solusi dari persoalan Papua. Terutama jika dilaksanakan sebaik dan sebenar-benarnya. “Otsus sebenarnya jalan keluar, jika persoalan kewenangan daerah, penghargaan terhadap budaya, sosial, dan sebagainya itu dijalankan secara baik dan benar,” kata dia.
Dia berharap, selain Otsus, ruang dialog kemanusiaan juga dibuka di Tanah Papua. Pendekatan kebudayaan dan bersikap terbuka juga diperlukan guna mengatasi berbagai permasalahan di Provinsi itu. “Lalu, pengakuan terhadap tanah adat juga menjadi solusi yang bisa ditawarkan. Sudah semestinya membuka diri dengan keadaan. Nerimo ing pandum. Keadilan tanpa perdamaian adalah ilusi,” tutur Hersumpana.
Masih di kesempatan sama, Sekretaris Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada, Gabriel Lele mengajak masyarakat Papua maupun Papua Barat menjadikan Indonesia sebagai rumah sendiri. “Mari jadikan Indonesia rumah kita,” ucapnya.
Terkait otsus, menurutnya ada sejumlah hal yang perlu dievaluasi. Salah satunya alokasi anggaran pada bidang pendidikan. “Fokus yang harus dipastikan adalah poin-poin pendidikan, kemaslahatan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain,” kata dia.
Menurut Gabriel, saat ini sebaran masyarakat Papua yang terdidik tidak merata. Hal ini terjadi, kata dia lantaran tidak adanya pengawasan kebijakan pendidikan yang serius. Persoalan seperti ini yang menurutnya perlu dievaluasi saat anggaran Otsus kembali digulirkan.
“Mengapa pendidikan masih tidak merata? Karena seolah-olah guru sudah cukup mendatangi daerah -daerah yang terpencil. Namun jika dicek secara langsung itu semua hanyalah data, nama, data. Dana BOS juga sangat mengalir dengan lancar, tapi dana keuangan itu sendiri yang entah larinya ke mana tidak jelas,” pungkas Gabriel. (Yon)